Thursday, March 25, 2010

STUDI KRITIS YUDICIAL REVIEW DI INDONESIA

oleh :
SYARIFUDDIN, SH



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

       Demokrasi adalah suatu sistem dimana Negara memberikan kedaulatan sepenuhnya ditangan rakyat. Kekuasaan dan kedaulatan rakyat dijamin dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku memberikan jaminan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Indonesia sebagai suatu Negara telah memberikan kedaulatan sepenuhnya ditangan rakyat. Pemerintah berfungsi sebagai pelaksanaan kegiatan pemerintahan yang memberikan jaminan kepada rakyat, bahwa tata pemerintahan menjamin seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara bersumber dan berpegang pada rakyat mempunyai kedaulatan tertinggi. Konsekuensi kedudukan rakyat dan pemerintah selalu sejalan dan sejajar dalam kedudukan hukum yang sama.

       Sistem demokrasi yang di anut beberapa Negara di dunia juga telah mengedepankan yudicial review sesuatu hal penting. Sehingga Tidak dipungkiri dalam tahap perencanaan undang-undang tentang kekuasaan yuducial review sering menjadi perdebatan yang sengit, hal ini disebabkan yudicial review merupakan suatu pembatasan kekuasaan politik atau yudicial review mendudukkan kepentingan hukum determinasi atas politik. Sesuai dengan Penjelasan atas Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia menegaskan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Ditegaskan pula bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum .

       Tetapi dalam tata pemerintahan dan pelaksanaan kegiatan pemerintahan, Negara dan pemerintahan yang selalu membuat ketentuan Undang-Undang atau perturan perundang-undangan yang berlaku selalu tidak mendukung pada kepentingan rakyat, undang-undang atau ketentuan peraturan perundang-undangan untuk kepentingan politik selalu derterminasi terhadap kepentingan rakyat. Produk-produk politik yang dibuat antara pemerintah bersama DPR bertentangan dengan kepentingan rakyat dan ketentuan konstitusional (Undang-undang Dasar).

       Pembatasan kekuasaan politik dari Negara demokrasi adalah Yudicial review. Peninjauan kembali atas produk politik yang bertentangan dengan konstitusional, Undang-undang dasar (grondnorm) sebagai jiwa rakyat (Volgeist) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dibawahnya tidak boleh bertentangan.

       Yudicial review adalah hak rakyat untuk melakukan pengujian terhadap produk politik seperti Undang-undang dan ketentuan hukum yang berada dibawahnya yang bertentangan dengan ketentuan hukum dasar Negara (grond norm). Prinsip-prinsip yudisial review memberikan jaminan kepada rakyat bahwa kekuasaan politik dapat dibatasi oleh kekuasaan dan kedaulatan rakyat.

       Jaminan atas pembatasan kekuasaan politik, dibentuklah suatu lembaga yang diberi wewenang dan tugas untuk memeriksa dan mengadili terhadap pengujian ketentuan hukum di bawah Undang-undang Dasar (Grond Norm), yaitu Mahkamah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang oleh Mahkamah Agung.

       Indonesia sebagai negara demokrasi telah memberikan wewenang yang jelas terhadap Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan penuh untuk melakukan yudicial review atas suatu aturan hukum yang bertentangan dengan ketentuan dasar yang lebih tinggi.

       Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan diatas paper ini akan mendalami dan membahas secara kritis bagaimana yudicial review itu dilaksanakan di Indonesia. Pengujian dan wewenang Lembaga yang melaksanakan uji materiel atas undang-undang terhadap Undang-undang Dasar (Groun Norm) atau ketentuan-ketentuan hukum yang berada di bawah undang-undang. Bahasan akhir tentang kebutuhan yudicial review di Indonesia.


B. Perumusan Masalah

1. Mengapa yudicial review ini diperlukan dalam suatu Negara Demokrasi seperti Indonesia ?
2. Mengapa wewenang yudicial review dilaksanakan oleh dua lembaga hukum yaitu Mahkamah Konstitusi  
    dan Mahkamah Agung di Indonesia ?
3. Bagaimana yudicial review dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung di Indonesia ?


C. Metode

       Metode pendekatan yang digunakan bersifat normatif, yakni dengan mengumpulkan bahan dan literatur hukum yang berasal dari bahan hukum sekunder yakni dari berbagai buku dan leteratur yang relevan dengan pengkajian paper ini.


BAB II
PEMBAHASAN


STUDI KRITIS TERHADAP YUDICIAL REVIEW DI INDONESIA


1. Yudicial Review dalam Sistem Negara Demokrasi

       Yudicial review telah banyak dianut beberapa negara di dunia, banyak istilah yang dipergunakan negara-negara yang arti dan maksudnya sama dengan pengertian yudicial review. Austria dikenal dengan nama constitutional review, Belanda dikenal dengan yudicial review dan istilah ini sama dengan Amerika. Walaupun terdapat perbedaan-perbedaan istilah tetapi maksud dan tujuannya adalah sama yaitu kekuasaan untuk menguji suatu ketentuan undang-undang apakah bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi.

       Austria misalnya yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental, menerima ajaran costituional review, namun Belanda sebagai sesama penganut paham Eropa Kontinental menolak konsepsi constituional review. Belanda lebih cendrung mengedapankan upaya administasi, melalui lembaga peadilan administrasi (administrative court/Pengadilan Tata Usaha Negara). Namun demikian, di Belanda tetap dikenal isitilah hak menguji (toetsingsrecht). Walaupun antara toetsingrecht dengan judicial review/constitutional review memiliki kapasitas dan pengertian yang berbeda, setidak-tidaknya kedua mekanisme ini memiliki substansi tujuan yang sama, yakni adanya perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara dan penghargaan terhadap konstitusi sebagai norma dasar. Karena Belanda menolak metode yudicial review/constitutional review, perkembangan ajaran ini di Indonesia pun tidak begitu marak dan massif. Pemikir-pemikir hukum Indonesia pada waktu itu , lebih mengenai prinsip-prinsip hukum Eropa Kontonental yang menjunjung tinggi civil law, seperti di negeri Belanda. Meskipun demikian, ketika terjadi proses penyusunan Undang-undang Dasar 1945, masalah hak menguji oleh hakim (toetsingrecht van de rechter) menjadi bahan perdebatan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan KemerdekaanIndonesia .

       Dalam tradisi common law Angglo Amerika, baik legislative act maupun executive acts tersebut dapat berupa produk hukum yang mengatur (regels, regeling) dan dapat pula berbentuk keputusan-keputusan adminisrasi negara yang tidak sifat mengatur, melainkan hanya bersifat penetapan administrasi (beschikking). Karena itu kebijakan dan keputusan-keputusan pejabat administrasi negara yang tidak berbentuk peraturan juga dapat diuji kembali dan dibatalkan atau dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan (hakim)

       Pemikiran-pemikiran yudicial review ini hanya muncul di negara-negara yang menganut sistem demokrasi. Yaitu Kekuasaan rakyat adalah mempunyai kedaulatan tertinggi dan penyelenggaraan negara haruslah berdasarkan kehendak rakyat dengan cara membuat suatu aturan hukum, sebagai tata aturan pelaksanaan pemerintahan.

       Memberlakukan ketentuan tentang yudicial review, sering menimbulkan perdebatan-perdebatan yang sengit. Anggapan sebagian politisi dan pelaksana kekuasaan politik memandang yudicial review sebagai suatu alat pembatasan kekuasaan politik. Di Indonesia pada awal kemerdekaan untuk memberlakukan yudicial review ini menjadi perdebatan antara politisi dan penegakan hukum. Perdebatan ini tidak saja dasar memberlakukan ketentuan hukum, juga bagaimana cara mengadobsi yudicial review ini dapat disesuaikan dengan keadaan negara Indoensia pada saat itu. Walaupun dalam pelaksanaan pemerintahaan dari kemerdekaan sampai dengan pemerintahan orde baru, yudisial review ini sama sekali tidak berjalan.

       Runduhnya Orde Baru sebagai gambaran pemerintahan yang otoriter, bersamaan dengan itu pula runtuh pula sistem yudicial review yang tidak penah jalan sebelumnya. Dengan dilakukannya perubahan terhadap UUD 1945, telah membawa wajah baru yudicial review di Indonesia. Kekuasaan Kehakiman telah diberikan kekuasaan penuh untuk menguji aturan hukum yang bertentang dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, dan peraturan perundang-undangan yang berada di bawah dan bertentangan dengan Undang-undang oleh Mahkamah Agung.

       Pada awalnya telah terjadi perdebatan yang sengit untuk merubah tentang yudicial review, tentang siapa yang berwenang untuk menguji atas ketentuan hukum yang bertentangan dengan UUD 1945. Yaitu pada waktu UUD 1945 dilakukan amandemen dalam bagian yudicial review sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) UUD 1945.

       PAH II BP MPR pada bulan Mei 2002 menyusun rancangan perubahan Peraturan Tata Tertib MPR dimana jika disetujui dalam ST 2001, BP MPR akan memiliki kewenangan melakukan uji materiel atas UU, TAP MPR, dan UUD. Walaupun mengakui MK yang seharusnya berwenang sebelum terbentuk BP sesuai TAP MPR/III/2000, BP MPR yang melaksanakannya. Kalaupun pandangan ini dapat dibenarkan, maka pengujian oleh Lembaga MPR ini tidaklah dapat dikatagorikan sebagai judicial review, karena sama sekali tidak dilakukan oleh hakim, melainkan oleh legislator. Namun demikian ketentuan demikian ini sangatlah keliru karena memberikan wewenang kepada lembaga yang tidak tepat. Tim ahli MPR menentangnya dengan dengan alasan kewenangan itu adalah milik lembaga peradilan dan MA dapat membentuk kompartemen baru. Meskipun TAP MPR No. III/MPR/2000 adalah sah adanya, tetapi dalam penerapannya, ketentuan mengenai legislative review yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tersebut tidak akan mungkin dapat dilaksanakan karena memang isinya keliru total. Fungsi pengujian Undang-undang adalah fungsi yang bersifat permanen dan rutin, sedangkan forum MPR tidak bersifat tetap atau tidak rutin. Ketua MA mendukung pendapat itu, pertentangan aturan adalah persoalan hukum dan bukan politik sehingga yang memutus perkara adalah badan peradilan, bukan badan politik seperti DPR atau MPR .

       Yudicial review telah menjadi suatu pertentangan dan perdebatan dalam suatu negara demokrasi, perdebatan ini disebabkan adanya suatu pembatasan kekuasaan politik oleh hukum. Oleh karena yudicial review adalah suatu hak konstitusional dari warga negara, maka pengujiannya selalu tetap berlaku dan memihak kepada kepentingan rakyat. Yudicial review dipandang sebagai suatu alat pembatasan kekuasaan politik.

2. Landasan Hukum Yudicial Review Indonesia

       Amandemen Ketiga UUD 1945 telah menetapkan kewenangan untuk mereview UU ada di Mahkamah Konstitusi sedangkan kewenangan mereview peraturan perundang-undangan di bawah UU diserahkan ke MA . Implementasi atas amandemen UUD 1945 telah ditentukan dalam UU No.5 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pasal 31 ayat (1), Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang . Tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi telah ditentukan dalam UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 ayat (1) huruf a, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 .

       Salah satu point penting dari hasil amandemen konstitusi adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan Indonesia, sebagai lembaga yang berwenang untuk melaksanakan fungsi uji konstitusionalitas . Sedangkan Mahkamah Agung yang telah dikenal sebelumnya hanya diberikan hak sebatas pengujian legalitas. Artinya menurut Prof. Dr. Jimly Assidiqy, bahwa pengujian yang dilakukan oleh Mahkamah Agung itu adalah pengujian legalitas berdasarkan undang-undang .

       Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai lembaga yang memberikan wewenang yudicial review, mendudukkan hakim-hakim konstitusi dan hakim-hakim agung sebagai perwakilan penegakan konstitusional hak warga negara. Aspek hukum ini memberikan suatu gambaran bahwa hakimlah yang sebenarnya mempunyai fungsi dan peranan untuk melakukan yudicial review atas suatu aturan hukum yang bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi baik dari sisi konstitusional maupun dari legalitas peraturan perundang-undangan yang berlaku.

       Kritik Ideologi Hukum berkenaan dengan Mahkamah Konstitusi dalam tahapan awal, mutlak memerlukan suatu pemaparan gambaran manusia dan masyarakat dari hakim. Nilai-nilai serta kaidah-kaidah non yuridis apa yang mempengaruhi putusan dari para hakim. Pandangan pribadi tentang gambaran manusia dan masyarakat dari hakim akan menjalankan pengaruh terhadap putusan . Tidak terkecualinya juga dengan Mahkamah Agung, yang mendudukkan pandangan terhadap gambaran manusia dan masyarakat. Kedua pandangan ini disatukan dengan pandangan hukum yang berlaku dan hidup ditengah-tengah masyarakat dan hukum.

3. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Pemegang Wewenang Yudisial Review di Indonesia

       Sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, telah memberikan wewenang penuh untuk melaksanakan hak uji materiel atau yudicial review atas ketentuan Undang-undang yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar Tahun 1945. Hak yang diberikan ini adalah hak menguji konstitusionalitas oleh Undang-undang. Sedangkan Mahkamah Agung telah diberikan wewenang yudicial review oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Mahkamah Agung diberikan hak menguji legalitas suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

       Terdapat dua hak uji materiel oleh dua lembaga di Indonesia yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Walaupun mempunyai dua lembaga yang melaksanakan tugas yudisial review tetapi kedua lembaga ini mempunyai wewenang yang berbeda dimana Mahkamah Konstitusi mempunyai hak uji konsitusional, the constitutionality of legislative law or legislation dan Mahkamah Agung mempunyai Hak uji legalitas, the legality of regulation.

       Pengujian konstitusioniltas undang-undang adalah pengujian mengenai nilai konstitusionalitas undang-undang itu, baik dari segi formil ataupun materiel. Karena itu, pada tingkat pertama, pengujian konstitusionalitas itu haruslah dibedakan dari pengujian legalitas. Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan Mahkamah Agung melakukan pengujian legalitas, bukan pengujian konstitusionalitas . Perbedaan ini dapat ditinjau dari alat ukur yang digunakan dalam melaksanakan suatu yudicial review atas peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD atau Undang-undang yang berada dibawahnya oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

       Dalam rangka pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang , alat pengukur untuk menilai atau dalam menjalankan kegiatan pengujian itu adalah undang-undang , yang menjadi dasar pengujian itu berpedoman pada legalitas suatu perturan perundang-undangan yang diuji itu apakah bertentangan dengan Undang-undang yang berada diatasnya. Hakim tidak dibebani dengan norma-norma yang hidup dimasyarakat, pusat perhatian inti adalah Undang-undang yang dijadikan dijadikan sebagai dasar pengujian. Beda dengan dengan pengujian konstitusional yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi tidak saja berdasarkan Undang Undang Dasar tetapi norma-norma yang hidup ditengah-tengah masyarakat.

       Artinya konstitusionalitas itu tidak hanya terbatas pada apa yang tertulis dalam naskah undang-undang dasar. Karena itu, dalam Penjelasan UUD 1945 yang asli, terdapat uraian yang menyatakan bahwa undang-undang dasar itu hanyalah sebagian dari konstitusi yang tertulis. Disamping konstitusi yang tertulis itu masih ada konstitusi yang tidak tertulis, yaitu yang terdapat dalam nilai-nilai yang hidup dalam praktek-praktek kenegaraan . Alat-alat ukur pengujian ini adalah :
1. Naskah undang-undang dasar yang resmi tertulis ;
2. Dokumen-dokumen tertulis yang terkait erat dengan naskah undang-undang dasar ;
3. Nilai-nilai konstitusi yang hidup dalam praktek ketatanegaraan yang telah dianggap sebagai bagian yang
    tidak terpisahkan dari keharusan dan kebiasan dalam penyelenggaraan kegiaran bernegara ;
4. Nilai-nilai yang hidup dalam kesadaran kognitif rakyat serta kenyataan perilaku politik dan hukum warga
    Negara yang dianggap sebagai kebiasaan dan keharusan-keharusan yang ideal dalam perikehidupan
    berbangsa dan bernegara

       Pemisahan wewenang yudicial review oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, merupakan suatu bentuk kerinduan bangsa Indonesia atas hukum yang adil, adanya kepastian hukum dan dijaminnya hak-hak konstituional. Tetapi alangkah sebaiknya dilakukan satu lembaga saja yang melakukan hak uji materiel atau yudicial review pada Lembaga Hukum yaitu Mahkamah Konstitusi. Sebab lembaga ini dapat dijadikan satu tugas yaitu sebagai lembaga yudicial review di Indonesia.

       Hak uji UU terhadap UUD diberikan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang sejajar dengan pembuat UU selain didasari oleh pandangan perlunya checks and balances antar lembaga Negara , ada tiga alas an yang penting yaitu :
1. Hakim bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi.
2. Konstitusi adalah the supreme law of the land.
3. Hakim tidak boleh menolak perkara sehingga kalau ada yang mengajukan permintaan yudicial review,
    permintaan itu harus dipernuhi.

       Mahkamah Agung dapat diidentikkan dengan penumpukan perkara dan jamak dengan perilaku korup dan jual beli perkara yang banyak melibatkan person-person dalam institusi ini. Lembaga ini telah teruji selama orde lama, yang tidak dapat menjalankan yudicial review dengan penuh rasa tanggung jawab, buktinya selama pemerintahan orde baru tidak dapat berbuat banyak atas hak uji materiel, karena dimasa ini banyak sekali peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Undang-undang. Disamping itu juga Mahkamah Agung dapat berkonsentrasi pada perkara-perkara yang masuk melalui jalur tingkat kasasi saja.


BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan

1. Yudicial Review merupakan ciri-ciri Negara demokrasi dan hukum dimana rakyat adalah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara (kedaulatan ditangan rakyat), hak-hak konstitusional warga negara harus tetap diperlihara dan dijaga untuk melindungi dari kekuasaan politik.

2. Yudicial Review di Indonesia dijalan oleh dua lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi berdasarkan UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sedangkan Mahkamah Agung berdasarkan UU No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, kemudian diubah oleh UU No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

3. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung Pemegang Wewenang Yudicial Review di Indonesia, Mahkamah Konstitusi mempunyai hak menguji konstitusional dan Mahkamah Agung mempunyai hak uji legalitas.



B. SARAN-SARAN

1. Sebagai Negara demokrasi, Indonesia harus tetap mempertahankan hak konstitusional warga Negara, agar dapat menjamin hukum diatas kekuasaan politik.

2. Semangat yang termuat dalam aturan hukum tentang kekuasaan dan wewenang yudicial review harus tetap dipertahankan dan dijalankan secara murni dan konsekuen tanpa ada tekanan dari lembaga politik.

3. Kekuasaan hak menguji undang-undang, yudicial review seharusnya diletakkan pada satu lembaga saja yaitu Mahkamah Konstitusi, agar pengujian konstitusional dan legalitas dapat dilaksanakan secara maksimal.







DAFTAR PUSTAKA

Achmad Fauzan,SH.LLM, Himpunan Undang-undang Lengkap tentang Badan Peradilan, Yrama Widya, Jakarta, 2004.

Anom Surya Putra, Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis & Kritik Ideologi, Nuansa Cendekia, 2003.

Dian Rositawati, SH. Judicial Review, Materi Mekanisme Judicial Review, seri bacaan kursus HAM untuk pengacara tahun 2005, Elsam, Jakarta 2005.

Jimly Assiddiqy, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Yarsif Waampone, Jakarta, 2005.

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3S, Jakarta, 2007.


Wahyudi Djafar, Ajaran Constitutional Review dan Judicial Review di Indonesia, http://wahyudidjafar.wordpress.com, 2008.

2 comments:

  1. Usulan yang "revolusioner". UUD'45 memang perlu diubah menjadi "Konstitusi NKRI". Basis pemikiran dalam tulisan ini sudah beralih dari "grondwet" ke "constitutional perspective".

    ReplyDelete
  2. Konsultasi Bapak: pada kasus pelepasan TKD (tanah kas desa) dipaksakan menggunakan dasar legal opinion yg diterbitkan oleh Kajari melalui Rekomendasi Depdagri. Sedang kasus ini sudah kami ajukan gugatan ke Kajari tentang pencaplokan TKD tsb oleh Developer. Sisi lain BPN menyatakan TKD tsb tumpang tindih (2sertifikat: Hak pakai Desa +HGB). Pertanyaan: alternator manager yg tepat untuk Judicial reviu ke MA a tau MK? Terima kasih. Abdul Latief

    ReplyDelete

pesan formulir komentar